Pementasan Seni di Situ Aksan: Tari Sunda, Silat, dan Adu Domba

Penyakit maag atau dispepsia dan GERD berbeda dan membedakan rasa sakit yang muncul di perut. (Algemeen Indisch dagblad - de Preangerbode, 1)

AYOBANDUNG.COM--Dalam Iklan acara Situ Aksan yang dimuat dalam Algemeen Indisch dagblad- De Preanger-bode (17-11-1955), mengabarkan bahwa pada tanggal 20 November 1955, atas permintaan khalayak ramai, hiburan tari serimpi anak-anak Sekar Binangkit pimpinan pa Kandi yang sudah melawat ke RRT, Keroncong Orkes Irama Murni, dan adu domba.
Siapa pa Kandi pimpinan Sekar Binangkit, sanggar tari yang sudah melanglang buana itu? Dalam makalah tugas ujian akhir mata kuliah Sejarah Seni pada Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Program Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, yang berjudul Historiografi Peristiwa Seni di Situ Aksan, AK Patra Suwanda (2018) menuliskan hasil wawancara dengan Prof Iyus Rusliana tanggal 11 Desember 2018. Iyus Rusliana, dosen Jurusan Tari dan dosen Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia Bandung.
Mulai kelas 5 di Sekolah Rakyat (SR), sekarang Sekolah Dasar (SD), Iyus Rusliana sudah belajar ngibing, menari. Yang menjadi guru tarinya adalah Kayat, pimpinan sanggar seni Wayang Wong Sunda, juga menjadi penata gending karya tari Tjetje Somantri.
Kayat mempunyai putra bernama Kandi. Kandi menjadi penabuh atau pemain kendang untuk karya-karya tari Tjetje Somantri. Pada saat itu, pemain kendang harus pandai ngibing, pandai menari.
Di Kemudian hari, Kandi mendirikan sanggar tari Sekar Binangkit. Bersama murid-muridnya, pada tahun 1950-an, sering diundang untuk pementasan tari di luar negri. Seperti ditulis dalam iklan di De Preanger-bode (17-11-1955), sanggar tari Sekar Binangkit pimpinan Kandi, diundang untuk mementaskan tari serimpi anak-anak di Situ Aksan.
Figur Tjetje Somantri sangat dikagumi karena karya-karya tarinya. Ia merupakan pelopor tari kreasi Sunda. Lahir tahun 1892 di Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat, dari ibu Nyi R Siti Munigar, ningrat asal Bandung, dan ayahnya R Somantri. Pendidikan di HIS dan MULO di Bandung. Dalam ngibing, pertama kali belajar tari tayub pada tahun 1911 kepada R Gandakusumah (Aom Doyot), di Kabupaten Purwakarta, dan belajar tari wayang kepada Aom Menin, Camat Buahbatu di Bandung.
Pada tahun 1907 lulus sekolah, kemudian meneruskan ke sekolah Pamong Praja atau sekolah menak di Bandung, namun tidak tamat, karena minat menterinya yang sangat besar. Kemudian ia belajar tari topeng Cirebon kepada Wentar dan Koncer (dalang topeng Cirebon), antara lain tari topeng pamindo dan topeng kelana. Ia juga belajar tari kepada Kamsi dan Karta dari Cirebon. Pada tahun 1925, Tjetje memperdalam tari topeng kepada Elang Oto Denda Kusumah, salah seorang Pangeran Kesultanan Cirebon. Tari-tarian yang dipelajarinya antara lain, Menak Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Anjasmara, Menak Koncar, Panji, dan Kendit Birayung.
ayo baca
Tjetje Somantri, koreografer pembaharu tari Sunda. Ia berhasil membuat tari rampak, yang banyak menginspirasi seniman tari lainnya. Karya tari putri antara lain: Anjasmara, Sekarputri, Sulintang, Ratu Graeni, Kandagan, Merak, Srigati, Dewi, dan Topeng Koncaran. Tari-tarian putra antara lain: Kendit Birayung, Menak Jingga, Yuyu Kangkang, dan Panji.
Sebagai pelopor tari kreasi Sunda, Tjetje Somantri bekerja sama dengan Tb Umay Martakusumah dalam kostum untuk para penari, dengan Kayat dalam penataan gending, dan dengan R Barnas Prawiradiningrat dalam pemikiran pola lantai pada tari rampak. Pada tahun 1963, R Tjetje Somantri meninggal dunia dalam usia 71 tahun.
Pertunjukan lainnya yang sering dipentaskan di Situ Aksan pada akhir pekan adalah silat dan adu domba. Tentang silat dan adu domba ini, ada pengalaman Supriadi Nata Sumantri, akrab dipanggil Nata. Pada tahun 1977 baru masuk SD, namun oleh kakeknya, Yaya Soekarya Soerya Wiganda, yang jauh sebelum itu sudah mumpuni dalam silat, bahkan menjadi pusat Syahbandar di Andir, yang menggemari adu domba.
Nata masih ingat, bersama kakeknya menuntun domba dari Gang Gwan An menuju lapangan di bawah kerindangan pohon di Situ Aksan. Kendang penca sudah ditabuh, terompet sudah ditiup, domba adu sudah siap di arena. Pemilik domba, pada umumnya jago-jago silat, sehingga ketika adu domba, mereka ngengklak, ngibing, diiringi kendang penca, secara keseluruhan, pergelaran ini merupakan pergelaran seni.
Penontonnya berdatangan dari berbagai daerah, dari Bandung, Garut, Cililin, Padalarang, Cipatik, Cikuya Lagadar. Kakeknya adalah sesepuh RKS (Rumawat Kaboedayaan Soenda) yang berpusat di Andir, Bandung, dan salah seorang tokoh PERMAI, pada zaman Bung Karno.
Yaya Soekarya Soerya Wiganda, atau dipanggil Yaya atau Itah, tinggal di Gang Siti Mariyah. Pada zamannya, warung sate pak Yaya di sekitar toko ikan asin di Jl Waringin, Andir, adalah jagonya.
ayo baca
Tulisan adalah kiriman netizen, isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.