Brand Legendaris Alpina, Raja Perlengkapan Outdoor di Era 90-an

Paidjan Adriyanto, pemilik produsen perlengkapan outdoor Alpina. (Ayobandung.com/Nur Khansa)
COBLONG, AYOBANDUNG.COM -- Paidjan Adriyanto masih berusia 30 tahun ketika ia memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya, dan mendirikan toko penyedia berbagai peralatan berkemah. Pria asal Madiun tersebut sebelumnya sempat bekerja di toko serupa selama empat tahun.
Merasa memiliki ilmu yang cukup memadai untuk membuka usaha sendiri, Paidjan bersama dua rekannya kemudian membangun brand yang kemudian sempat booming di era 1990-an, yakni Alpina. Awalnya, toko yang namanya merupakan singkatan dari Alam Pegunungan Indonesia tersebut berfokus menjual berbagai perlengkapan berkemah dan kegiatan alam bebas lainnya.
"Tapi lama kelamaan jadi tren di kalangan anak sekolahan. Waktu itu, tahun 90-an, belum ada anak sekolah yang pakai ransel atau daypack. Produk ransel untuk para pecinta alam saya laku keras oleh anak-anak sekolah dan jadi tren baru," ungkap Paidjan saat ditemui Ayobandung.com di kediamannya belum lama ini.
Alpina didirikan Paidjan di Kota Bandung pada 1 Agustus 1985. Merk tersebut sebenarnya bukanlah perintis awal di dunia perlengkapan outdoor di Indonesia. Merk Jayagiri dan Eiger telah muncul lebih dulu.
"Duluan Eiger sebenarnya, tapi waktu itu kesalip saya. Saya melihat ada peluang bagus, karena belum ada produsen di Indonesia yang membuat macam-macam ransel. Ketika ada ide dan kesempatan, akhirnya saya buat," ungkapnya.
Ransel yang dibuat Alpina kala itu menjadi ikon 'anak sekolah kekinian' pada masanya. Bentuk ranselnya yang sederhana dengan gantungan ritsleting khas Alpina banyak digemari anak muda.
Bahkan, pada masa itu, banyak anak sekolah yang berebut mencopot gantungan ritsleting dengan logo Alpina yang kemudian dijadikan aksesori seperti gelang.
"Ritsletingnya saat itu jadi ikon, banyak yang mengincar sampai dijadikan gelang," kenangnya.
Selain tas ransel, Alpina juga memiliki produk andalan "D-01", yakni tas pinggang yang juga dapat dijadikan tas selempang. Ada pula celana kargo, berbagai macam jaket, jas hujan, sepatu, dan sebagainya.
"Waktu itu juga pernah produk-produk saya dipakai syuting salah satu episode Dono Kasino Indro (Warkop DKI), saya lupa judulnya yang mana, tapi ceritanya mereka sedang camping dan propertinya pakai Alpina. Dari sana semakin booming," ungkapnya.
ayo baca
Siapa sangka, produk-produk tas terutama ransel Alpina adalah hal yang dapat membuat bisnisnya bertahan hingga 20 tahun kemudian. Sebelum akhirnya penjualan menurun perlahan bersamaan dengan kehadiran akses internet dan media sosial yang meluas.
Di puncak masa kejayaannya, Alpina sempat mengekspor berbagai produknya hingga ke mancanegara. Dia mengatakan, jaket Alpina banyak dipesan oleh Belanda dan negara di Timur Tengah memesan berbagai produk tas Alpina.
"Setelah tahun 2000, setelah krisis 1998, (penjualan) kita sudah mulai turun. Negara lain sudah mulai produksi massal, karena mereka bisa bikin berbagai produk mulai dari harga yang murah sampai mahal dengan kuantitas yang banyak. Mereka punya kawasan industri tersendiri, jadi maju-nya cepat. Barang-barang dari luar negeri membanjiri Indonesia, di sana produsen lokal mulai banyak kewalahan," paparnya.
Meski penjualan mulai menurun dan tidak seramai tahun-tahun sebelumnya, Paidjan mengatakan, secara umum penjualan berbagai produk Alpina masih stabil. Produsen perlengkapan outdoor sejenis mulai bermunculan, namun hal tersebut belum sampai membuat toko pusat Alpina di Komplek Dago Asri, Kota Bandung, jadi sepi pelanggan.
"Itu berlangsung sampai 2010. Setelah itu, internet mulai muncul. Di 2015, orang mulai belanja lewat internet. Pesan barang semakin mudah, pilihan orang makin banyak dan tidak terbatas pada produk dalam negeri saja. Gaya belanja orang sudah berubah di tahun itu," ungkapnya.
Dia tidak menampik tersebut membuat bisnisnya ikut goyang. Selama 20 tahun sejak 1990, Alpina memiliki setidaknya 150 cabang toko offline yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, yang disebut sebagai 'Agen Alpina'. Mulai 2010, beberapa agen tersebut mulai gulung tikar. Sebagian beralih ke penjualan daring lewat media sosial seperti Facebook dan
Instagram.
"Agen terakhir itu ada di Banjar, Pangandaran, Jogja dan Malang. Di Malang itu 2015 baru tutup. Setelah itu semua dialihkan jadi berjualan online. Turunnya penjualan memang dirasakan oleh semua agen," ungkapnya.
Hingga saat ini, Alpina masih terus bertahan memproduksi berbagai perlengkapan outdoor sebagaimana yang dilakukannya sejak awal berdiri. Tidak banyak inovasi barang yang dihasilkan, karena prinsip Paidjan adalah mempertahankan produk yang sejak lama memiliki banyak penggemar.
"Apalagi di masa pandemi seperti ini, bikin inovasi itu beresiko, lebih baik saya fokus memproduksi dan menjual barang-barang yang dari dulu selalu banyak penggemarnya. Sekarang saya punya reseller di berbagai daerah seperti di Malang, Jogja dan Bali. Itu sangat membantu," ungkapnya.
ayo baca