Di Gang Pakgade Ahmad Hassan Mengader Mohammad Natsir

Mohammad Natsir (Commons Wikimedia)

Muhammad Akmal Firmansyah
Mahasiswa Sarjana Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Aktif di lembaga pengkajian dan penelitian Institute of Civilization (IoC) Pemuda Persis Bojongloa Kaler.
Tempat-tempat di kota Bandung, gang atau jalan, apabila dipelajari toponiminya sangat menarik dan ternyata memiliki kisah yang perlu diungkap. Gang Pakgade ialah contohnya, di mana sastrawan Ajip Rosidi (1990) mengisahkan kumandang pembaharuan Islam bergema.
***
Di Kota Bandung terdapat sebuah gang kecil yang letaknya di sebelah selatan Jalan Raya Barat. Ujung Timur gang itu berakhir di Gang Kote, sedang ujung baratnya di Gang Sutur.
Gang itu sendiri dinamakan Gang Belakang Pak Gade, karena dahulu terletak di belakang pegadaian negeri yang berdiri di pinggir jalan raya. Dalam percakapan sehari-hari, orang biasa menyingkatnya Gang Pakgade saja.
Di buku “Oud Bandoeng” Dalam Kartu Pos , Sudarsono Katam (2009), menampilkan ilustarsi peta Bandung tahun 1920-an dan 1950-an. Di sana terlihat posisi selatan Jalan Raya Barat, yang hari ini dikenal Jalan Jendral Sudirman, bersampingan dengan Jalan Otto Iskanar Dinata. Tepat, apabila kita memakai Google Maps dan melihat Jalan Jendral Sudirman atau Jalan Otto Iskandar Dinata lalu mengetik keyword “ Belakang Pagade”, akan terlihat denah wilayah tersebut. Posisinya berdekatan dengan Jalan Sutur dan Gang Kote.
Di kiri kanan gang yang boleh dikatakan pendek itu, terdapat rumah-rumah sederhana, sebagian setengah bambu, yang dihuni oleh orang-orang “bebas”, yaitu para pedagang, para pengusaha kecil, dan tukang-tukang. Walaupun ada juga pegawai rendah pemerintah atau buruh perusahaan swasta yang tinggal di situ.
Meskipun kelihatannya Gang Belakang Pak Gade tidak ada bedanya dengan puluhan gang lainnya di Kota Bandung, seperti Gang Durman, Gang Kasmin, Gang Alipin, Gang Pangampaan, dan lain-lain, namun Gang Belakang Pakgade pernah menjadi terkenal di seluruh Indonesia.
Bahkan keterkenalan itu sampai di Singapura dan Malaysia, karena dari salah sebuah rumah sederhana yang terletak di gang itu telah disebarkan gagasan memurnikan Islam dengan semboyan: “Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan membersihkan Isam dari Khurafat dan bid’ah yang mengotorinya”
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ajip Rosidi di atas, di sinilah Ahmad Hassan mengader Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri di Indonesia.
ayo baca
Di buku Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim, yang diterbitkan oleh TEMPO dan KPG, disebutkan bahwa pertemuan Natsir dengan Hassan telah menancapkan tonggak penting. Semula ia bercita-cita menjadi ahli hukum, namun pertemuannya dengan Hassan telah mengubah jalan hidupnya.
Natsir memutuskan untuk tidak melanjutkan cita-citanya itu dan memilih tertarik (lagi) dengan agama.
Kenangan bertemu Hassan ini diabadikan oleh Natsir, ketika mengirim surat kepada keluarganya. Dokumentasi akan hal ini juga terdapat dalam buku Aba (M. Natsir) Sebagai Cahaya Keluarga (2008),
Sebetulnya, adalah Oom Fachruddin yang memperkenalkan Natsir kepada Hassan dan mempertemukan mereka untuk pertama kalinya di Bandung. Rumah Hassan amat sederhana, tetapi sanggup membuat Natsir cukup betah.
Hassan menulis tafsir Al-Quran, dengan judul Al-Furqan. Dia menulis di rumahnya, terus dicetaknya dengan mesin yang ada di sebelah rumah itu.
Buruhnya pun hanya tiga orang. Dua zettter dan satu drukker. Hassan sendiri yang mesin cetak yang dijalankan dengan tangan, dia juga yang mengatur opmaak, dia sendiri yang mengoreksi, dia pula yang mengajarkan bagaimana menjilid. Kemudian, dia sendiri juga yang mengatur penjualannya.
Melihat segala kemandirian dan ketekunan itu, tertarik benar Natsir kepada Hassan. Kesederhanaannya, kerapian, terjaga kealimannya, dan ketajamannya jikalau bertukar pikiran.
Bagi Natsir, Hassan ialah seorang yang original. Ia ahli perusahaan yang praktis. Dan tentu saja, ahli debat yang berani mengemukakan pendapat pendiriannya.
Di sebuah gang di Bandung inilah, Natsir dengan ghirah-nya belajar berjuang dan membela Islam. Di Gang Pakgade, Hassan dengan kealimannya yang tawadu selalu melayani Natsir dengan pengajarannya yang baik.
ayo baca
Tulisan adalah kiriman netizen, isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.