Uang Jajan, Wajibkah untuk Anak?

Uang jajan untuk anak. (Pixabay)

AYOBANDUNG.COM -- Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, literasi dalam berbagai bidang pun sangat diperlukan. Terlebih dalam ilmu parenting yang saat ini tentu saja sangat dibutuhkan bagi orangtua yang melahirkan generasi milenial, generasi Z, dan generasi Alpha, yang notabene memang lahir di zaman perkembangan teknologi dan informasi. Salah satu hal yang perlu diedukasi dalam dunia parenting adalah terkait masalah pemberian uang jajan kepada anak.
Istilah uang jajan, rasanya sudah sangat familiar dan sudah menjadi tradisi turun-temurun dalam keluarga, khususnya di negara Indonesia. Bahkan pada beberapa kasus, uang jajan ini bisa menjadi senjata bagi orangtua untuk menghentikan tangisan anaknya.
Pemberian uang yang tidak terkonsep ini atau dapat dikatakan diberikan secara cuma-cuma, justru akan memberikan dampak yang kurang baik bagi anak di masa depan. Anak yang terbiasa mendapat uang jajan secara rutin akan menjadikan dirinya merasa memiliki. Yang akhirnya hal ini bisa berubah menjadi sebuah mindset kewajiban yang harus didapatinya. Sehingga jika anak tidak mendapat uang jajan, mereka akan merengek, kecewa, bahkan sampai marah-marah.
Nah, untuk meminimaliasi hal ini terjadi, kita sebagai orangtua harus mengubah pola pikir atau konsep dalam pemberian uang jajan kepada anak. Hal yang paling mendasar yang perlu diketahui orangtua adalah terkait makna pemberian uang jajan itu.
Di sini, ada tiga makna, yaitu uang jajan sebagai imbalan, uang jajan sebagai hadiah, dan uang jajan sebagai kewajiban.
Pertama, uang jajan sebaiknya diberikan sebagai sebuah imbalan. Dalam hal ini berarti, seorang anak baru akan mendapatkan uang setelah dia memenuhi sebuah tugas atau pekerjaan yang menggunakan tenaganya sendiri.
Contohnya, orangtua dapat memberikan tugas kepada anak untuk membersihkan rumah, kebun, atau apa pun yang bisa dikerjakan oleh anak-anak. Tentu saja hal ini tidak berarti mengeksploitasi anak, tetapi justru konsep ini akan membentuk karakter anak yang memiliki harga diri yang kuat—di mana dapat menjauhkan mereka dari sifat meminta-minta.
Kedua, pemberian uang jajan sebagai bentuk hadiah. Poin kedua ini tentu saja memberikan anak sebuah tantangan sehingga akan meningkatkan kualitas dalam dirinya untuk terus berprestasi.
Jangan khawatir, jika poin kedua ini pada awalnya membuat anak-anak berprestasi untuk mendapatkan sebuah uang. Namun seiring dengan berjalannya waktu, mereka pun akan memahami dan menemukan kenyamanan bahwa menjadi berprestasi itu wajib. Bahkan pada beberapa kasus seorang anak yang ingin berprestasi dalam bidang nonakademik, misalnya hafalan Al-Qur’an, mereka akan menemukan kenikmatan dalam dirinya ketika setor hafalan setiap harinya.
Mungkin awalnya hal ini terlihat sangat materealistis, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, mereka tidak membutuhkan hadiah itu lagi karena mereka sudah merasa bahwa itu kewajibannya dengan Tuhannya. Kemudian terbentuklah pola dalam benak mereka bahwa cukuplah hadiah itu. Dia sudah mendapatkan hadiah dari Tuhannya.
Ketiga, uang jajan sebagai kewajiban. Dalam poin ini, perlu digarisbawahi bahwa sebagai orangtua memang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan perut anaknya. Namun dalam hal ini, tentunya makanan yang dihidangkan sehari-hari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan anak.
Nah, justru dalam poin ketiga inilah jangan sampai uang jajan dijadikan anak sebagai sebuah kewajiban orangtua karena hal ini akan membentuk konsep yang tidak teratur dalam diri anak.
Demikianlan, semoga paparan penulis bisa menjadi bahan renungan bagi pasangan orangtua ataupun calon pasangan di masa mendatang.
Tulisan adalah kiriman netizen, isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.