Keberlangsungan Pendidikan di Kala Pandemi

Sejumlah siswa SMP mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) melalui televisi satelit Bandung 132 di RW.5, Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Selasa (13/10/2020). Pemerintah Kota Bandung meluncurkan Siaran Channel TV Bandung132 sebagai alternatif media pembelajaran jarak jauh bagi siswa dimasa pandemi Covid-19. (Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi)

AYOBANDUNG.COM -- Pada November 2020 pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait pembelajaran bagi siswa sekolah dalam masa pandemi Covid-19, yakni Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Agama (Menag), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19, mengenai pembelajaran tatap muka. Namun kini kebijakan tersebut tampaknya patut dikaji ulang.
Ada tiga poin penting dalam SKB empat menteri tentang sekolah tatap muka. Poin pertama, keputusan untuk membuka sekolah harus mendapat persetujuan bukan hanya dari pemerintah daerah tetapi juga dari pihak sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan para orangtua murid.
Kunci kedua, sekolah tidak bisa memaksa jika orang tua murid lebih memilih untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena masih merasa khawatir.
Ketiga, sekolah yang dibuka akan membuat kebijakan yang berbeda dengan saat sebelum pandemi Covid-19. Jumlah Siswa yang hadir dalam satu sesi kelas hanya boleh 50 persen.
Menurut Mendikbud Nadiem Makarim kebijakan tersebut dikeluarkan karena cukup banyak daerah yang merasa sangat sulit untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Selain itu, setelah dilakukan evaluasi hasil dari pembelajaran jarak jauh, ada dampak negatif yang terjadi pada anak, yang jika hal itu terus dilakukan, maka bisa menjadi suatu risiko yang permanen.
Salah satu dampak negatif jika terlalu lama PJJ adalah adanya ancaman putus sekolah. Risiko putus sekolah dikarenakan anak "terpaksa" bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi Covid-19. Banyak orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar jika proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.
Meskipun menurut publikasi Statistik Pendidikan 2020, yang telah dirilis oleh BPS, fenomena sekolah sambil bekerja bukan merupakan hal baru di Indonesia. Dari 100 siswa umur 10-24 tahun, kurang lebih terdapat 7 siswa yang bekerja.
Persentase siswa yang bekerja selama seminggu terakhir semakin tinggi sering dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Terdapat 1 dari 4 mahasiswa yang bekerja dan umumnya berstatus sebagai buruh/karyawan. Sedangkan untuk siswa putus sekolah, tercatat 1 dari 1.000 siswa SD/sederajat putus sekolah. Kemudian, dari 1.000 siswa SMP/sederajat, 10 di antaranya putus sekolah. Terakhir, pada jenjang SM/sederajat, 11 dari 1.000 siswa SM/sederajat putus sekolah. Meski tentu saja, kemungkinan besar angka ini akan meningkat di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini.
Dari sisi pelaksanaan, PJJ yang dilaksanakan secara daring bisa dikatakan efektif dilihat dari 3 faktor yaitu, teknologi, karakter pengajar dan karakteristik siswa.
Dilihat dari segi teknologi masyarakat Indonesia masih kurang memadai, seperti jaringan yang tidak stabil, listrik yang tidak semua wilayah ada, banyak pula siswa yang tidak mempunyai smartphone dan laptop untuk melakukan pembelajaran daring seperti di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Terisolir).
Hal ini bisa terlihat dari Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK, yang dirilis oleh BPS. IP-TIK merupakan suatu ukuran standar yang dapat menggambarkan tingkat pembangunan teknologi informasi dan komunikasi suatu wilayah, kesenjangan digital, serta potensi pengembangan TIK. Indeks Pembangunan TIK (IP-TIK) Indonesia tahun 2019 mencapai 5,32, meningkat dibanding IP-TIK 2018 sebesar 5,07.
ayo baca
Meski mengalami kenaikan, kesenjangan pembangunan TIK, yang dilihat dari jarak IP-TIK tertinggi dan terendah cenderung semakin lebar. Dalam dua tahun terakhir, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan IP-TIK tertinggi, yaitu 7,31 dan Papua merupakan provinsi dengan IP-TIK terendah, yaitu 3,33. Pada tahun 2018, jarak antara IP-TIK tertinggi dan terendah adalah 3,84 dan jarak ini semakin lebar di tahun 2019 menjadi 3,98. Tentu saja hal ini akan menjadi satu permasalahan dalam pelaksanaan PJJ yang dilakukan secara daring.
Jika kita lihat dari segi karakteristik pengajar, masih banyak guru dan dosen yang belum mahir menggunakan teknologi dan media sosial untuk melaksanakan PJJ, yang mengakibatkan ada kekurangan dari guru dan dosen untuk memberikan materi pembelajaran kepada siswa.
Sedangkan karakteristik siswa Indonesia, selama ini siswa terbiasa belajar secara tatap muka dengan guru dan dosen, berinteraksi bersama teman-teman, di tegah situasi social distancing ini mereka harus belajar secara mandiri, kesulitan untuk berdiskusi secara langsung, dan masih banyak siswa yang tidak mengerti cara menggunakan teknologi untuk pembelajaran. Hal itu berakibat kepada kemampuan daya serap belajar siswa.
Pembelajaran daring di tengah situasi social distancing juga berdampak pada orang tua. Orang tua harus meluangkan waktu untuk mendampingi anak-anak belajar sedangkan tidak semua orang tua mengerti tentang teknologi, hal itu berpengaruh terhadap aktivitas pekerjaan mereka sehari-sehari, pengeluaran orang tua juga bertambah, mereka harus membeli kuota internet untuk belajar anak, ada juga orang tua yang harus membeli smartphone agar anaknya bisa melakukan pembelajaran daring.
Guru dan dosen juga mau tidak mau merubah metode pembelajaran yang sebelumnya dengan metode tatap muka menjadi metode daring. Jam kerja guru dan dosen juga menjadi tidak terbatas, mereka harus berkomunikasi dengan siswa, guru lain dan kepala sekolah di luar jam mengajar. Namun saat pembelajaran daring di tengah situasi social distancing ini kebanyakan para guru dan dosen hanya memberikan tugas, dan materi kepada siswa tanpa menjelaskan terlebih dahulu materi pembelajaran, menyebabkan siswa merasa jenuh dan tidak bersemangat untuk melakukan pembelajaran. Akibatnya siswa hanya belajar dan mengerjakan tugas semaunya dan tidak maksimal.
Hal tersebut jugalah yang menjadi salah satu latar belakang dikeluarkannya SKB tersebut, yang berlaku mulai semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021, di bulan Januari 2021. Meskipun begitu, dalam SKB tersebut, pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan untuk memberikan penguatan peran pemerintah daerah/kantor wilayah (kanwil)/kantor Kementerian Agama (Kemenag) sebagai pihak yang paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya.
Ketika SKB empat Menteri diumumkan, seolah-olah proses pembelajaran dengan serta merta bisa dibuka, padahal masih ada persyaratan berjenjang. Dalam pemberian izin pembelajaran tatap muka, ada faktor-faktor yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah daerah, antara lain tingkat risiko penyebaran Covid-19 di wilayahnya, kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, kesiapan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran tatap muka sesuai daftar periksa. Selanjutnya, akses terhadap sumber belajar/kemudahan belajar dari rumah, dan kondisi psikososial peserta didik, juga masih ada beberapa daftar periksa yang harus dipenuhi.
Menurut Statistik Pendidikan 2020, data tahun 2019 menunjukkan bahwa 20,10 persen sekolah pada jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air. Selain itu, tidak sampai 80 persen sekolah di setiap jenjang pendidikan memiliki toilet yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Kemudian jenjang pendidikan dengan akses yang paling besar terhadap sarana cuci tangan adalah jenjang SMK dengan persentase 82,16 persen. Sedangkan yang paling rendah adalah jenjang SMP (74,18 persen). Padahal ketersediaan sarana sanitasi dan kebersihan seperti toilet bersih dan layak, serta sarana cuci tangan termasuk ke dalam daftar periksa yang harus dipenuhi sekolah agar dapat melaksanakan proses pembelajaran tatap muka saat pandemi.
Selain itu, dengan seiring berjalannya masa liburan akhir tahun, tingkat keterisian rumah sakit dan ruang isolasi Covid-19 di berbagai daerah kian penuh. Hal ini menyebabkan tingkat penularan Covid-19 di Indonesia belakangan ini makin mengkhawatirkan.
Menurut data Satgas Penanganan Covid-19, di Jawa Barat, data per 14 Desember menunjukkan ada peningkatan sekitar 20 persen pada keterisian RS Covid-19 jika dibandingkan dengan sebelum liburan akhir Oktober. Untuk DKI, meningkat dari 60 persen menjadi 73 persen, Jawa Tengah dari 63 persen menjadi 77 persen dan keterisian RS Covid-19 di Jawa Timur meningkat tajam dari 39 persen menjadi 63 persen. Sehingga masyarakat diminta menahan diri untuk tidak melakukan perjalanan jauh pada musim libur guna mencegah kepenuhan di rumah sakit-rumah sakit tersebut.
Hal ini tentu saja seharusnya semakin meningkatkan kehati-hatian pemerintah daerah dalam memutuskan Belajar Tatap Muka meskipun SKB sudah berlaku. Faktor kesehatan, keamanan, dan keselamatan seluruh siswa, guru, dan karyawan sekolah harus menjadi prioritas utama. Sehingga semestinya pelaksanaan PJJ yang selama ini dianggap telah berlangsung cukup efektif, terus dilanjutkan. Jika melakukan pembelajaran tatap muka, maka dikhawatirkam akan meningkatkan potensi penularan kasus Covid-19, karena adanya pergerakan massa dalam jumlah banyak pada pagi dan sore hari. Sehingga siswa sekolah, guru bahkan juga keluarga di rumah akan sangat berpotensi tertular Covid-19.
ayo baca
Tulisan adalah kiriman netizen, isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.
artikel terkait

Bangkit dengan Menanam

Diskusi Bugar Jasmani di Tengah Pandemi

Geliat Kawasan Wisata Ranca Buaya

Belajar Jarak Jauh di Kebun Seni Tamansari

Karang Taruna Mengajar

Aplikasi Pembelajaran Jarak Jauh SD Juara

5 Hal yang Harus Diperhatikan Saat Berada di Pesawat Ketika Pande...

Aksi Unjuk Rasa Aliansi Rakyat Menggugat