Proyeksi 2021: Mencemaskan Ketegangan Permanen di Teluk Persia

Ilustrasi. (Pixabay/DEZALB)
Sjarifuddin Hamid
Lulusan Jurusan Hubungan Internasional, FISIP-UI. Pernah bekerja pada beberapa surat kabar nasional.
AYOBANDUNG.COM -- Mayoritas orang Arab menolak normalisasi hubungan dengan Israel. Mereka memandang masalah Palestina merupakan inti konflik di Timur Tengah. Penolakan itu menunjukkan upaya untuk mempengaruhi opini masyarakat telah mengalami kegagalan, ungkap Forum Palestina untuk Studi Masalah-Masalah Israel (MADAR).
Diketahui, lanjut MADAR, Israel, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE) telah menggunakan ‘influencer’ di media sosial, wartawan bahkan ulama guna menyuarakan dukungan bagi normalisasi hubungan. Di saat yang sama mempertanyakan status Palestina, status masjid Al Aqsa, menyerang orang-orang Palestina di tengah sikap diam rezim yang memerintah.
Israel, UAE, Bahrain, Sudan dan Maroko dalam beberapa waktu terakhir telah menormalisasi hubungan tetapi mayoritas penduduknya memandang Israel bukan negara sahabat, jelas MADAR yang dikutip Middle East Monitor minggu lalu.
Laporan MADAR itu tampaknya tidak akan memperkecil peluang Israel, UAE, Bahrain, Sudan dan Maroko serta Arab Saudi untuk menekan Iran pada hari-hari mendatang. Sekutu-sekutu baru Israel itu, kecuali Sudan, dipimpin para raja yang mempunyai kekuasaan mutlak kalau bukan disebut otoriter. Nyaris tak ada kekuatan di dalam negeri yang menyuarakan penentangan kebijaksanaan kerajaan.
Bukankah tak masuk di akal ketika Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhamad bin Salman mengadakan pertemuan dengan PM Benyamin Netanyahu di Neom, kota pantai Saudi Arabia?
Pertemuan pada 23 November 2020 tersebut dirancang secara rahasia. Dalam kesempatan itu, Salman bertemu dengan Menlu AS Mike Pompeo. Kemudian Netanyahu datang dengan pesawat jet bermuatan sedikit penumpang pada malam hari.
Pertemuan Netanyahu dengan Salman merupakan hasil kerja sama badan intelijen kedua negara. Kabarnya pertemuan itu bertujuan membuka jalan bagi pembukaan hubungan diplomatik Tel Aviv-Ryadh, tetapi Raja Saudi Salman bin Abdul Aziz Al Saud menolak.
Menahan Perluasan Pengaruh Iran
Saudi dan negara-negara Teluk lainnya mulai merasa fokus kepada Palestina hanya membuang waktu, tenaga, dan dana. Masalah Palestina menghalangi kerjasama bisnis dan finansial yang kini diperlukan. Sebaliknya Palestina tak memberi kontribusi berarti.
Saudi cs yang terlibat sengketa sektarian dengan Iran juga memerlukan dukungan Israel. Mereka mencemaskan pengaruh kaum Syiah, yang di Bahrain misalnya merupakan mayoritas.
Sementara Israel memerlukan dukungan Saudi dan negara-negara Teluk untuk mengucilkan Iran yang berpeluang memiliki senjata nuklir. Sebagaimana diketahui senjata nuklir merupakan unsur penjera di masa damai. Sebaliknya bila digunakan akan membinasakan lawannya atau menghancurkan kedua pihak dalam waktu singkat.
Selain itu Israel ingin melenyapkan kehadiran militer Iran di Syria dan proxynya, Hezbollah, di Lebanon. Israel kemungkinan besar sudah membantu Saudi dalam melawan milisi Houthi di Yaman yang didukung Iran.
Mencemaskan!
Ketegangan di kawasan Teluk Persia bertali temali dengan konflik di Timur Tengah. Ia melibatkan negara-negara yang berselisih berdasarkan perbedaan sekte, diperburuk dengan campur tangan bekas penjajah seperti Inggris dan yang memiliki kepentingan global seperti Amerika Serikat.
Ketegangan itu sebenarnya telah mencapai taraf yang mencemaskan. Di Syria, Garda Revolusi Iran, tentara Syria dan milisi kerap bertempur melawan pasukan Israel.
ayo baca
Di Yaman, angkatan udara Saudi membom konsentrasi milisi Houthi yang didukung Iran. Sebegitu jauh bantuan militer Saudi koalisinya, termasuk UEA, kepada Dewan Transisi Yaman Selatan telah menguasai Aden, tetapi milisi Southi yang disokong Iran mengendalikan Sana’a.
Kalangan petinggi militer Iran sepertinya masih menyimpan dendam dengan kematian tokoh utama Garda Revolusi Jenderal Qassem Soleimani yang tewas pada 3 Januari 2020. Kematian itu disebabkan serangan Drone Amerika Serikat.
Presiden Donald Trump berdalih pembunuhan dilakukan sebab Soleimani akan menyerang kantor-kantor diplomatik AS di Timur Tengah. Sebuah klaim yang dibantah Menhan AS Mark Esper.
Lima hari kemudian Iran membalas dengan meluncurkan puluhan roket ke pangkalan militer AS di Irak. Pada 11 Maret, Iran menembakkan roket ke pangkalan militer di Taji, Irak yang menewaskan seorang tentara AS dan Inggris.
Serangan AS dan Israel pada Juli dan November mengarah kepada pelemahan kekuatan potensi nuklir Iran. Serangan terhadap pabrik pengayaan uranium di Nathan dilakukan pada 3 Juli, sedangkan pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh dilakukan pada 27 November 2020.
Bila melihat kepada rentetan kejadian sepanjang 2020 cukup alasan untuk mencemaskan kondisi Timur Tengah pada tahun ini. Bahkan menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Donald Trump yang ingin memperluas pengaruh Israel dan menekan atau bahkan melenyapkan Iran.
Siapa Diuntungkan?
Amerika Serikat sangat diuntungkan dengan ketegangan permanen d kawasan Teluk. Dengan dalih menjaga Saudi dari serangan Iran, AS menempatkan tiga ribu tentara dan memiliki lima pangkalan militer. Dua di Ryadh, serta masing-masing satu di Dammam, Khamis Mushayt dan di bagian timur.
AS juga memiliki basis militer di Fujairah, Teluk Oman. Sejumlah 7 ribu serdadu, pangkalan angkatan laut dan angkatan udara di Bahrain. Juga di Irak dan empat pangkalan di Kuwait, empat pangkalan udara dan angkatan laut di Oman. Serta 10 ribu tentara di Qatar di dua angkatan udara, satu diantaranya merupakan basis militer AS terbesar di Timur Tengah, menurut American Security Project.
Dengan menjual keberadaan ancaman Iran, menurut Security Assistance Monitor, sejak 2002 AS telah menjual beragam peralatan militer ke Arab Saudi senilai lebih dari US$34 miliar dan 2019 berjumlah US$5,08 miliar.
Peralatan militer tersebut umumnya merupakan generasi baru dan canggih. Ironisnya, personil Saudi kurang mampu mengendalikan maupun memeliharanya. Dalam aksi pemboman di Yaman misalnya, pilot-pilot Saudi yang mengendalikan pesawat tempur harus didahului pesawat-pesawat tempur AS.
Bila melihat berbagai aksinya terhadap Iran, Israel merupakan negara yang paling berkeinginan untuk meletupkan perang, melalui kerjasama multilateral.
Tel Aviv yang akan paling diuntungkan dengan hancurnya Iran, sedangkan negara-negara Teluk dipastikan yang paling menderita. Konsumen minyak mentah internasional juga akan mengalami kesulitan, mungkin lebih parah dibandingkan dengan dampak perang Teluk I-2.
ayo baca
Sebelum perang tercetus yang tampaknya bakal lebih banyak menggunakan drone, roket dan rudal , selayaknya Saudi cs dan Iran membangun dialog guna menyingkirkan sengketa sektarian serta berupaya melenyapkan proxy war di Syria, Lebanon, dan Yaman.
Tulisan adalah kiriman netizen, isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.