BANDUNG HARI INI: Satu Tahun Kepulangan Maestro Lukis Jeihan Sukmantoro

Maestro Lukis Jeihan Sukmantoro. (Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi)
LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Satu tahun lalu, tepatnya 29 November 2019, maestro lukis Jeihan Sukmantoro wafat pada pukul 18.15 WIB di studionya, Jalan Padasuka 147, Kota Bandung. Meski telah tiada, pelukis kelahiran Solo, 26 September 1938, itu tetap dikenang melalui karya-karyanya.
Ayobandung.com sempat berbincang dengan Jeihan sebelum legenda tersebut tutup usia. Saat itu ia berbicara tentang ‘Suwung” yakni sesuatu yang tidak ada tetapi ada.
"Puncak gerak, diam. Puncak tahu, tak tahu. Puncak hidup, mati. Saya sudah mulai mengerti semua. Sudah mulai belajar diam, sudah mulai tidak tahu, dan sudah siap mati. Saya tahu puncak kehidupan saya itu kematian, menuju Suwung," ujar Jeihan.
Konsep ‘Suwung’ atau ‘Sufi’ bagi Jeihan adalah cara atau upaya mengenal dan mendekatkan dirinya kepada Sang Pencipta sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.
“Sufi itu kan ke usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, yaitu Allah. Dalam berkesenian juga seperti itu, di mana belajar kembali ke asal. Itu bisa diruntun bahkan dari awal, ketika dimulai pada zaman homo sapien, ketika mahluk seperti kita ngerti tanda tanya. Siapa yang menciptakan kita dan mengapa kita ada. Dari sanalah kesadaran Pencarian Sang Pencipta itu ada,” ungkap Jeihan.
Karya-karya bertema ‘Sufi’ ini menunjukkan bagi Jeihan, kehidupan bukan saja memiliki realitas indrawi, melainkan pula realitas di luar indrawi. Realitas virtual, realitas spiritual, realitas emosional, atau apapun namanya semua hadir di mata Jeihan.
Menurut Jeihan, Sufi dalam kaitannya dengan relatif tertinggi sama dengan cinta. Cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, cinta pada semesta.
“Kalau ditanya lebih jauh lagi ujungnya sufi atau cinta ini ada pada tataran spiritual reality. Kalau ditingkat tertinggi, disebutnya absolutly atau kemutlakan. Dan disitulah muncul Suwung. ujungnya Sufi adalah Suwung,” ungkap Jeihan.
Pemilik Lukisan Mata Hitam
Jeihan sudah menunjukkan eksistensinya di dunia seni rupa Indonesia sejak 1960-an. Dan sampai saat ini ia dikenal sebagai pelukis potret manusia bermata hitam.
ayo baca
Karyanya yang bertajuk ‘Ratu Laut Nusantara’ (2016) menjadi salah satu potret ‘mata hitam’ yang tersohor. Lukisan ini menunjukkan figur seorang perempuan berjilbab putih berdiri tegak di depan cahaya sinar rembulan.
Bagi Jeihan, ‘mata hitam’ bermakna sikap hidup yang enggan tunduk dan terbuai pada realita. Ia mengatakan, secara futurologis, ‘mata hitam’ merupakan hasil evolusi kondisi manusia di masa depan.
“Jika ditanya ‘mata hitam’ itu ada dua jawaban, filosofis dan futuristis. Kenapa filosofis? Karena sesungguhnya manusia tengah berada dalam kegelapan misteri. Manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi,” kata Jeihan kepada Ayobandung.com saat gelaran pameran tunggal Sufi/Suwung di Studio Jeihan, Kamis (1/6/2017) lalu.
Tak hanya itu, ‘mata hitam’ juga bermakna serupa dengan lubang hitam. Lubang hitam adalah tempat gravitasi menarik begitu kuat sehingga memerangkap cahaya dan mendistorsi ruang dan waktu.
Lubang hitam hanya dapat dideteksi lewat emisi terakhir yang dikeluarkan ketika terdapat benda jatuh ke dalamnya.
Dengan ‘mata hitam’, personifikasi figur yang dilukisnya pun tidak lagi menyimpan artikulasi yang sama dengan model (figur) aslinya. Jeihan dengan ‘mata hitam’-nya telah melakukan mistifikasi layaknya lubang hitam di alam semesta.
Ayah teladan
Tak hanya berjuluk seniman besar, Jeihan Sukmantoro juga dikenal sebagai sosok ayah teladan. Kepada Ayobandung.com, anak pertama almarhum, Atasi Amin, mengatakan Jeihan selalu berpesan kepada anak-anaknya agar tidak menyianyiakan waktu.
"Jelas figur sentral. Bapak orangnya perhatian, bapak juga teladan. Selalu bilang waktu adalah sesuatu yang berharga dan harus diperjuangkan dan pesannya juga jaga studio ini dan keluarga agar selalu rukun," ucap Atasi.
Studio Jeihan di Jalan Padasuka, Kota Bandung, menjadi tempat peristirahatan terakhir sang maestro. Ia dikebumikan tepat di belakang bangunan itu. (Eneng Reni Nuraisyah Jamil/Faqih Rohman Syafei)
ayo baca