Covid-19 Perparah Situasi Rentan Perempuan Alami Kekerasan

[Ilustrasi] KDRT. (Pixabay)
LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Sejak 1 Januari hingga 20 November 2020, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppa) mencatat adanya 6.088 kasus kekerasan pada perempuan. Dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang palin sering terjadi adalah kekerasan dalam rumah tannga (KDRT).
Sekretaris Kemenppa Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, pandemi Covid-19 memperbesar peluang perempuan untuk mendapat kekerasan. Hal ini salah satunya dipicu oleh situasi krisis yang tengah dihadapi, yang membuat perempuan dalam poisisi rentan semakin terancam.
"Covid-19 bukan hanya ancama pada sistem kesehatan, tetapi juga bagi keluarga yang banyak menghabiskan waktu di rumah," ungkapnya dalam webinar Pandemi Covid-19 dan Perlindungan terhadap Perempuan, Jumat (27/11/2020).
Hal serupa juga disampaikan Peneliti Departemen Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad, Binahayati Rusyidi. Dia memaparkan, Covid-19 menjadikan posisi perempuan yang selama ini cenderung subordinat dalam masyarakat menjadi lebih terpinggirkan karena berbagai akses layanan terhenti.
Akses layanan tersebut mencakup program-program perlindungan perempuan, program konseling untuk para korban kekerasan, dan sebagainya. Selain itu, dukungan sosial pun jadi lebih sulit diakses karena keterbatasan aktivitas selama Covid-19.
"Kita mendapat data bahwa Covid-19 telah mengubah atau mengurangi alokasi dana pembangunan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Banyak terjadi pemotongan anggaran, sehingga para instansi atau dinas terkiat jadi terhambat untuk memberi layanan perlindungan perempuan," ungkapnya.
Dia mengatakan, pemotongan anggaran tersebut mau tidak mau menyulitkan lembaga untuk memberi bantuan pada korban kekerasan saat dibutuhkan. Tak jarang beberapa lembaga mengeluarkan uang pribadi untuk membantu perempuan yang mengalami kekerasan.
Selain itu, dia juga menemukan bahwa ruang gerak para perempuan pekerja yang mengalami kekerasan di rumahnya pun menjadi semakin sempit. Pasalnya, sumber-sumber dukungan yang didapatkan dari para rekan kerjanya menjadi sulit diakses.
ayo baca
"Tidak semua korban melaporkan kekerasan yang dialaminya. Mereka masih menggantungkan sumber dukungan emosional dari rekan-rekan kerja. Saat pandemi, mereka menjadi stress karena terhambat untuk mendapatkan sumber-sumber layanan informal yang biasa mereka dapatkan, lewat curhat dengan teman-temannya," ungkapnya.
Saat pandemi ketika keluarga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan terisolasi dari orang lain akibat physical distancing, pelaku dapat lebih leluasa melakukan kekerasan. Hal tersebut diperparah dengan krisis yang dialami keluarga seperti PHK dan hal lainnya yang memicu stres.
"Pada saat itu perempuan pun semakin stress, harus menangani keluarga, mengajari anak bersekolah di rumah, beban mereka tidak berubah. Malah risiko kekerasan meningkat," ungkapnya.
"Dukungan sosial pun menurun saat pandemi. Covid-19 memperparah situasi ketidakadilan gender yang sebelumnya sudah ada mengakar dalam masyarakat," tuturnya.
Binahayati mengatakan, saat menghadapi pandemi, berbagai negara di dunia disebut masih belum mampu mengantisipasi kemungkinan munculnya kekerasan terutama pada perempuan, dan dampak yang diakibatkannya. Fokus penanganan masih berada pada tataran kesehatan.
ayo baca
"Isu kekerasan ini kurang mendapat perhatian, dan mau tidak mau harus berkompetisi dengan isu yang lebih besar. Akibatnya ada pemotongan-pemotongan alokasi dana ataupun hal lainnya yang sebenarnya diperlukan," ungkapnya.
artikel terkait

Heboh Jenazah Covid-19 Tertukar di Bogor, Keluarga Murka

Bangkit dengan Menanam

Diskusi Bugar Jasmani di Tengah Pandemi

Ini Dia 3 Calon Vaksin Covid-19 di Indonesia

Geliat Kawasan Wisata Ranca Buaya

Gegara Video Hadi Pranoto, Anji Jadi Sorotan Netizen di Twitter

Ini Sindiran Pedas Hotman Paris kepada Jerinx SID terkait Covid-1...

Karang Taruna Mengajar