Kecamatan Bojongloa Kaler, Wilayah dan Penduduknya Terkini

Penyemprotan disinfektan di gang di salah satu permukiman padat di Kelurahan Babakan Tarogong, Kecamatan Bojongloa Kaler. (Ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi)
BOJONGLOA KALER, AYOBANDUNG.COM -- Bojongloa Kaler merupakan kecamatan terpadat se-Kota Bandung. Pada 2018, jumlah penduduknya tercatat 122.137 jiwa. Dengan luas wilayah 3,063 kilometer persegi, tingkat kepadatan di kecamatan ini mencapai 39.837 ribu jiwa per kilometer persegi. Angka yang jauh melampaui ke-29 kecamatan lainnya.
Merujuk dokumen Kecamatan Bojongloa Kaler dalam Angka 2019 terbitan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 5 kelurahan di kecamatan ini, yakni Kopo, Suka Asih, Babakan Asih, Babakan Tarogong, dan Jamika. Suka Asih, dengan luas wilayah 0,92 kilometer persegi, merupakan yang terluas di antara kelimanya.
Secara administratif, Kecamatan Bojongloa Kaler yang wilayahnya berada di ketinggian 696-713 meter di atas permukaan air laut. terdiri dari 47 Rukun Warga (RW) dan 396 Rukun Tetangga (RT). Jamika merupakan kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak, yakni 32.240 jiwa.
Untuk urusan kepadatan penduduk, Kelurahan Babakan Asih ada di urutan pertama. Tingkat kepadatan di kelurahan ini tercatat di angka 59.187 jiwa per kilometer persegi.
Pendidikan dan Kesehatan
Per 2018, di Bolongloa Kaler terdapat 15 unit Sekolah Dasar (SD) dengan 3.930 murid dan 130 guru. Ada juga 6 unit Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan 4.904 murid.
Untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), tercatat ada 9 unit sekolah dengan 4.209 murid dan 184 guru. Juga tercatat 6 unit Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan 1.957 murid dan 126 guru. Untuk jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), terdapat 5 unit sekolah dengan 1.089 murid dan 55 guru.
Untuk memberikan layanan kesehatan bagi warga, di Bojongloa Kaler terdapat 4 rumah sakit bersalin, 2 puskesmas, 70 posyandu, serta 3 balai pengobatan.
Kecamatan Bojongloa Kaler juga melaporkan data kesejahteraan warga dengan parameter tahapan keluarga sejahtera (KS). Jumlah total pra KS mencapai 1.785 kepala keluarga (KK). Kelurahan Kopo menjadi penyumbang terbanyak dengan 702 KK.
Untuk data penerima program beras miskin (raskin), tercatat ada sebanyak 1.139 KK, terbagi di Kelurahan Babakan Asih dan Babakan Tarogong.
Pertanian dan Perdagangan
ayo baca
Tidak ada lahan sawah di Bojongloa Kaler. Luas lahan bukan sawah tercatat 306,3 hektare dengan lahan seluas 249,7 hektare di antaranya diperuntukkan perumahan dan pekarangan.
Di bidang industri, tercatat ada 2 industri besar dan 329 industri kecil atau kerajinan rumah tangga (IKKR).
Untuk urusan perdagangan, di Kecamatan Bojongloa Kaler terdapat 1 pasar, 238 kelompok pertokoan, 2 minimarket 1 hypermarket, serta 1 mal.
Dari Warga Tidak Pernah Sekolah hingga Balita Stunting
Sebagai wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi, Bojongloa Kaler memiliki beberapa masalah mandasar terkait sumber daya manusia (SDM). Ragam masalah ini kita temukan di banyak bidang, mulai dari pendidikan hingga kesehatan.
Salah satu parameter yang bisa kita cermati adalah data tentang tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduknya. Yang mengejutkan, kelompok terbesar ada di warga yang tidak atau belum bersekolah. Jumlahnya mencapai 29.400 jiwa. Menyusul di bawahnya, kelompok lulusan SMP dengan jumlah 19.114 jiwa dan kelompok lulusan SD sebanyak 16.391. Jumlah warga yang tidak lulus SD juga relatif banyak, yakni 13.725 jiwa.
Untuk urusan kesehatan, berdasarkan Profil Kesehatan Kota Bandung 2019 yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung, diketahui persentase balita stunting di Bojongloa Kaler adalah 11,50 persen atau sejumlah 458 bayi. Persentase bayi stunting di kecamatan ini menjadi terbanyak ketiga se-Kota Bandung, di bawah Lengkong dan Cibiru.
Angka balita yang dijadikan acuan merupakan hasil kegiatan rutin bulan penimbangan balita (BPB). Tercatat, penimbangan melibatkan 124.319 bayi atau sekitar 63,2 persen dari total jumlah balita di Kota Bandung sebanyak 196.530 bayi.
Dengan persentese penimbangan balita yang masih jauh dari 100 persen ini, dimungkinkan adanya balita-balita stunting lain yang belum tercatat. Dampak lebih jauh lagi, akibat basis data yang belum akurat, sulit dilakukan program-program intervensi untuk menanggulangi masalah stunting secara lebih efektif.
Stunting terjadi akibat kegagalan pemenuhan gizi secara memadai di seribu hari pertama kehidupan bayi yang mencakup 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi dilahirkan. Periode ini diyakini oleh para peneliti sebagai periode emas yang sangat menentukan kualitas hidup seseorang di masa mendatang. Tidak hanya di Kota Bandung, stunting masih menjadi masalah Kesehatan utama di Jawa Barat dan Indonesia.