Trump Tunda Serangan ke Iran

Presiden Amerika Donald Trump.(Reuters)
Tiga anggota kelompok garis keras yakni Menlu Mike Pompeo, Penasehat Keamanan Nasional John Bolton dan Kepala Pusat Badan Intelijen Gina Haspel telah menyetujui serangan terhadap sejumlah fasilitas militer Iran.
Pesawat-pesawat pembom tempur telah mengudara dan kapal-kapal perang sudah dalam siaga penuh, tetapi Presiden Donald Trump pada Kamis malam (20/6/2019) waktu Amerika Timur membatalkan serangan itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Iran merupakan negara yang tersisa dalam strategi AS, Saudi Arabia dan Israel untuk menstabilkan Timur Tengah. Yordania, Irak dan Libya sudah terlebih dahulu dijinakkan atau dihancurkan, sementara Syria yang berbatasan dengan Israel masih memerlukan waktu lama untuk kembali menjadi ‘musuh’.
Menghancurkan Iran akan menenangkan Saudi yang cemas dengan ambisi teritorialnya. Menyenangkan Israel yang akan terbebas dari ancaman nuklir Teheran dan gangguan Hizbullah dari wilayah Lebanon atau Palestina. Mengapa serangan dibatalkan?
Di kalangan elit Washington terdapat perbedaan pandangan. Beberapa Senator menilai tindakan Garda Revolusi Islam Iran menembak jatuh pesawat pengintai tanpa awak Global Hawk dapat ditiru Korea Utara, dengan motif memaksa AS kembali ke meja perundingan.
Meskipun demikian, mereka meragukan kesetiaan Ryadh dan Tel Aviv terhadap langkah-langkah berikutnya. Jangan-jangan AS dibiarkan maju sendiri sekalipun Saudi dan lainnya turut menanggung biaya perang.
Tambahan lagi, menilik kekuatan militer dan soliditas dalam negeri Iran maka tidak mungkin menghancurkan Iran dalam waktu singkat. Perang yang berkepanjangan berisiko menciptakan ketidakstabilan di Timur Tengah dan dunia, dalam aspek politik, ekonomi, perdagangan dan militer. Minimal lebih buruk dari embargo minyak tahun 1974.
Perang akan menutup Selat Hormuz yang biasa dilewati kapal-kapal tanker menuju Eropa dan Asia Timur. Kenaikan harga minyak sekalipun menguntungkan para spekulan di Wall Street tetapi memicu resesi dunia. Eropa, Cina, Jepang, dan Korea Selatan akan terkena pengaruh.
Indonesia juga bakal terpukul, apalagi defisit anggaran belanja diramalkan melebar karena pendapatan dari pajak tak mencapai sasaran.
Sebenarnya realisasi menjatuhkan Iran ditarget tahun 2009. Ketika itu kalangan generasi muda dan kaum konservatif diadu domba. Rencana tersebut gagal total, tetapi niat menghancurkan Iran tetap membara.
Penarikan AS dari perjanjian kesepakatan pengendalian nuklir Iran, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), pada Mei tahun lalu dan menggantinya dengan sanksi ekonomi merupakan langkah awal mengikuti jalan ‘lama’.
Penarikan itu sesungguhnya sulit dimengerti karena akan mengendalikan pengembangan nuklir Iran hingga 2030. Tapi bagi elit Washington yang setuju, penarikan dipandang menghapus ketidakpastian.
Penarikan diri itu disertai penerapan atas Iran, yakni dengan mengancam akan menjatuhi sanksi kepada negara-negara yang membeli minyak mentah, produk tambang dan baja Iran. Di samping memasukkan pasukan elit Iran, Korps Garda Revolusi, ke dalam daftar teroris.
Bukan saat yang Tepat
Rencana penyerangan pada Kamis lalu itu sepertinya merupakan puncak dari pembalasan atas penembakan drone di atas selat Hormuz, serta serangan terhadap tanker minyak dua kapal tanker Kokuka Courages asal Jepang dan Front Altair dari Norwegia di selat Oman.
ayo baca
Amerika Serikat menuduh Iran menyerang kedua tanker. Lucunya, pernyataan itu dibantah Presiden Kokaku Sangyo, Yutaka Katada.
"Kami menerima laporan bahwa ada sesuatu yang terbang ke arah kapal. Tempat di mana proyektil mendarat secara signifikan lebih tinggi dari permukaan air, jadi kami benar-benar yakin bahwa ini bukan torpedo atau ranjau limpet."
Kurasa tidak ada bom waktu atau benda yang menempel di sisi kapal, tukasnya pada konferensi di Tokyo, 14/6/2019. Tanker membawa 25 ribu methanol dalam perjalanan menuju Singapura dari Arab Saudi.
Serangan lebih dipandang sebagai sabotase karena berlangsung di tengah kunjungan PM Shinzo Abe ke Teheran untuk membahas hubungan ekonomi kedua negara. Di samping mendengarkan aspirasi para pemimpin Iran dalam hubungan dengan AS.
Pembatalan serangan oleh Trump tampaknya a.l disebabkan bangsa Iran tengah bersatu padu, tidak dalam kondisi seperti Irak di dibawah Saddam Hussein. Selain daripada itu banyak negara saat ini yang tidak simpati dengan gaya uniteralis yang dilakukan Trump.Jadi dukungan diperkirakan hanya diperoleh dari Inggris Saudi dan Israel.
Kekuatan militer Iran juga jauh lebih kuat dibanding Irak. Iran memiliki peluru kendali balistik Seijjil, berdaya jangkau 2.500 km, yang dapat membawa hulu ledak nuklir seberat 1.000 kg.
Iran mempunyai kapal selam Ghadir yang dapat mengganggu arus lalulintas di selat Hormuz. Ghadir dapat membawa rudal anti kapal Khalij yang mampu menghantam sasaran sejauh 200 km.
Efektivitas pesawat tempur AS juga dapat dihalangi rudal S-300. Kehebatan rudal buatan Rusia ini sudah terbukti di palagan udara Syria. Serangan AS terhadap Iran juga dapat membakar semangat Hezbollah yang dikabarkan memiliki 160 ribu peluncur roket di perbatasan dengan Israel.
Iran mempuyai 850 ribu tentara, 523 ribu diantaranya aktif. 398 unit kapal perang. 2.531 tank dan sedikitnya 1000 rudal. 509 unit pesawat terbang. Kekuatan militer yang tidak mungkin dihancurkan dalam waktu singkat.
Kemungkinan lain yang turut diperhitungkan Trump adalah faktor Rusia dan China. Kedua negara telah memperlihatkan dukungan kepada Presiden Venezuela Nicolaas Maduro yang akan digulingkan Amerika Serikat.
Ambisi Akan Dilanjutkan
Sebagai negara yang ingin mendominasi dunia, AS dengan berbagai cara akan menjatuhkan Iran untuk menstabilkan Timur Tengah dan menguasai cadangan minyak Iran yang diprediksi berjumlah 158.300 juta barrel.
Salah satu peluang baru adalah apabila Iran mengabaikan isi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dengan melanjutkan melanjutkan pengembangan peluru kendali serta pengayaan uranium. Pengabaian ini boleh jadi akan membuat Prancis, Jerman dan Inggris mendukung langkah-langkah AS, termasuk dengan menyerang Iran.
Banyak pihak yang akan membeli atau menyimpan dolar AS serta emas sebagai safe heaven. Tingkat suku bunga pinjaman akan meningkat karena banyak negara yang memerlukan dana untuk menutup anggaran belanja.
Siapakah yang mendapat manfaat? Sebagian kecil elit dunia, di antaranya, perusahaan-perusahaan migas, industri militer, perbankan, dan lembaga keuangan serta perusahaan yang menjual bahan mentah dalam matauang asing. Secara umum, Amerika Serikat yang menjadi pemenang!
Farid Khalidi
ayo baca
Tulisan adalah kiriman netizen, isi tulisan di luar tanggung jawab redaksi.
artikel terkait